Tokoh Sufi
Syeikh Zarruq
Syeikh Zarruq Ulama Sufi yang Cemerlang dari Fes
Namanya Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa. Ia bernasab dengan kabilah Baranis dari Fes, Marokko, yang kemudian dinasabkan dengan Al-Burnusy. Panggilannya adalah Zarruq, dipanggil demikian karena kakeknya bermata biru.
Syeikh Zarruq dilahirkan hari Kamis ketika matahari terbit, 28 Muharram tahun 846 H, atau 1442 Masehi. Demikian disebutkan oleh Ummul Banin, seorang perempuan ahli fiqih yang shalihah, nenek dari Syeikh Zarruq. Setelah dua hari lahir, ia ditinggal wafat oleh ibundanya, di hari sabtu, dimana usia ibundanya waktu itu 23 tahun. Setelah itu ganti ayahandanya wafat, ketika usia jabang bayinya masih 5 hari. Usia ayahandanya 35 tahun.
Kata Syeikh Zarruq, ayahandanya memberi nama Muhammad, lalu sepeninggal ayahandanya oleh neneknya digannti dengan Ahmad. Hingga Allah memadukan dua nama mulia pada dirinya. "Aku memilih nama Ahmad karena tiga alasan," Syeikh Zarruq:
Pertama, saya senang dengan nama itu, disamping aku dibesarkan di pangkuan nenekku. Nenek seorang yang penuh kasih sayang, seorang yang sangat alim dan shalihah.
Kedua, nama itu begitu kuat, tidak berubah, bahkan tetap dengan nama itu sepanjang tahun.
Ketiga, nama ahmad adalah nama yang dikabargembirakan oleh Allah kepada Nabi Isa as, dan tidak pernah disebutkan sebelum Nabi dan Rasul sebelum Nabi kita Muhammad saw.
Masa Kecil
Masa kecil Syeikh Zarruq sebagai yatim piyatu, berada di pangkuan neneknya, seorang faqih yang shalihah, tumbuh dengan pendidikan yang sangat bagus, penuh kecerdasan dan perilaku budi luhur. Sejak kecil ditanamkan iman, dan kesalehan, terutama dalam disiplin sholat. "Nenek mengajariku sholat, dan memerintahkannya ketika usiaku masih 5 tahun. Sejak usia lima tahun aku disiplinkan sholatku, dan aku belajar menulis di usia itu. Nenek juga mengajariku tauhid dan tawakkal, keimanan dan keagamaan dengan cara yang luar biasa."
Salah satu yang menakjubkan, yang diceritakan beliau, "Ketika aku masuk di sebuah perpustakaan, seorang faqih menulis surat Alamnasyroh di telapak tangan kananku, dengan tinta dari madu, lalu aku menjilatinya. Pada saat itulah aku menjadi anak yang paling bagus hafalannya…. Bahkan aku tidak tahu, kalau aku tak pernah sekalipun menghafal wahyu sama sekali, kecuali hanya sehari atau dua hari saja…"
Masa kecilku tidak pernah bermain-main di masjid, dan tidak pernah aku berlari-lari di dalamnya, kecuali satu hari seumur hidupku. Lantas saat itu jempolku bengkak, keluar ulat kecil dan bernanah. Aku baru tahu kemudian, Sunnatullah berjalan, bahwa setiap aku berbuat salah, langsung diganjar dengan akibatnya seketika. Aku sakit empat kali di Mesir ini. Setiap kali sakitku sampai empat bulan baru sembuh, dan setiap aku sakit tidak sembuh kecuali setelah makan buah Zaitun Hitam.."
Ketika usia beliau genap 9 tahun, ia dikirim untuk belajar konveksi, tiga hari selama seminggu, Kamis, Jum'at dan Senin. Ini dibelajarkan agar terpadu antara pengetahuan industri dan agama.
Mendalami Agama
Syeikh Zarruq bercerita, "Berada dalam didikan nenekku yang faqih, Ummul Banin, hingga usiaku 10 tahun. Pada saat yang sama aku sudah hafal Al-Qur'an, dan aku belajar jahit menjahit. Maka ketika usiaku 16 tahun, aku dikirim untuk mendalami ilmu agama. Aku mengkaji kitab Ar-Risalah pada dua Syeikh, As-Sitththy dan Abdullah al-Fakhkhar., dengan kajian yang dalam. Kemudian mendalami soal macam-macam Qira’at pada Al-Qawry, az-Zarhuny, orang yang sangat saleh. Juga pada Al-Majashy, dan Al-Ustadz Asy-Saghir mengenai bacaan huruf ala Nafi'.
Kamudian aku dalami pengetahuan Tasawuf dan Tauhid, antara lain Ar-Risalatul Qudsiyah dan Aqaid ath-Thousy, pada Syeikh Abdurrahman Al-Majdulisy salah satu murid al-Ubay. Juga sebagian kajian At-Tanwir (karya Ibnu Athaillah) pen.) pada Al-Qowry, dari beliau pula saya belajar Al-Bukhary. Kemudian belajar fiqih pada Abdul Haq ash-Shughra, dan Jami at-Tirmidzy. Tak terhingga guru-guru fiqih maupun tasawufku."
Kelak Syeikh Zarruq dikenal sebagai Mursyid Thariqah Syadziliyah, dan mensyarahi karya Ibnu Athaillah as-Sakandary, Al-Hikam. Diantara keunikan Syarah Syeikh Zarruq, ketika beliau mensyarahi Al-Hikam sampai terulang 17 kali. Setiap kali khatam membuat syarah kitab Al-Hikam selalu hilang, atau dicuri orang. Dan syarah yang masih utuh hingga sekarang adalah syarah Al-Hikam yang ke 17.
Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy
1.
Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
2. Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.
3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.
4. Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
5. Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
6. Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
7. Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.
Muhammad Ibnu Abbad
Sufi Pensyarah Al-Hikam
Ibnu Abbad tidak dikelilingi oleh kisah-kisah legenda ajaib, seperti kebanyakan sufi yang lainnya... Kita mendapati dalam diri Ibnu Abbad sosok seorang sahabat yang
tenang tempat kita menaruh kepercayaan; seorang yang tidak membuat kita silau dengan berbagai gagasan agung atau membuat kita bingung dengan kecanggihan teosofis; seorang sahabat yang tidak memaksakan pikiran-pikirannya pada diri kita, tetapi justru menunggu sampai kita berangsur-angsur dapat memahami tanggung jawabnya yang tinggi atas kesejahteraan spiritual pembacanya. (Annemarie Schimmel)
Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka kelahiran Spanyol pada abad ke-14. Ia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah. Pada usia tujuh tahun ia sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, ia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, akibat tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang berhasil mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340 dan membuat kehidupan kaum muslimin di Spanyol menjadi semakin sulit.
Di Fez, Ibnu Abbad kembali belajar fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di bidang fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani (w. 1369), seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di bidang teologi, ia belajar teologi Asy’ariyah kepada al-Abili (w. 1356), dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, ia juga mempelajari himpunan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas. Karya yang disebut terakhir ini dipelajari dari al-Imrani, seorang faqih kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik pada tasawuf. Ibnu Abbad sendiri mengenal tasawuf lewat guru-guru fiqihnya yang juga mengajarkan tasawuf secara pribadi, dengan memakai karya-karya klasik al-Maliki, al-Ghazali dan Suhrawardi.
Situasi kota Fez yang sangat kacau akibat perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Abu Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana ia berguru kepada Ibnu Asyir (1300-1362), seorang wali yang dikenal sebagai tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Ia kemudian menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah bimbingan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, sampai pada akhirnya ia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.
Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana ia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu dikenal, Abu Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk bebrapa waktu, ia kembali ke Fez, dan di sana ia berkenalan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Abu Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini ia menulis At-Tanbih yang diselesaikannya antara 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana sampai sekitar 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Abu al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya sebagai imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan ilmu tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.
Sebagai khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Ia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang disebutnya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Ia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang selaras dengan kehidupan sehari-hari.
Yang menarik, Ibnu Abbad tidak memandang khutbah umum itu sebagai forum yang tepat untuk menyampaikan masalah-masalah tasawuf. Sebaliknya, ia membahas masalah tasawuf secara lebih mendalam melalui syarah kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’ illah dan dua koleksi surat-suratnya (keseluruhannya ada 45 buah surat) yang berhasil diedit oleh P. Nwya, seorang Jesuit asal Irak. Melalui dua karyanya inilah dapat memahami gambaran jiwa Ibnu Abbad dan metode bimbingan spiritualnya.
Al-Qusyairy
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi'y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).
5. GelarKehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
An-Nifary
Pengelana Sufi dari Iraq
Sufi besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya ilmunya melampaui Rumi dan al Hallaj. Ia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar. Nama mistikus an-Nifary mungkin agak asing ditelinga kita.Tidak seperti al Bustami maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal di mata ahli tasawuf pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Para sufi sesudahnya banyak yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq ini.
Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding al Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih hati-hati dan tidak kontroversial. Meskipun sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi dirinya menjadi tokoh panutan yang tiada banding.
Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya dalam pada puncak kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit terlacak. Di duga ia dilahirkan di Basrah Iraq dengan tanggal dan tahun yang sulit ditemukan. Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-Nifary. Sang sufi dikenal sebagai seorang yang suka menyendiri. Disamping itu kesehariannya lebih dikenal sebagai sosok pengelana.
Kesohor sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik Sifat itu membikin karya-karyanya jarang terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak lebih dari jasa orientalis Inggris, Arthur John Arberry. Pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934. Meski demikian tidak banyak karya-karyanya yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah satu cirinya. Karya-karyanya juga penuh dengan perjalanan spiritual yang mengagumkan. Tidak kalah jauhnya dengan pengembaraannya di dunia nyata. Tahap demi tahap dilakukannya sampai pada puncak yang paling tinggi.
Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Tokoh ini terasa unik. Berbeda dengan sufi lainnya, dalam diri an-Nifary ada dua kelebihan. Di dunia sastra sufi, an-Nifary sama seperti ar Rumi maupun maupun al Aththar. Dibanding dengan keduanya, karya an-Nifary lebih mendalam. Pertama, ia seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang teoritikus mistik.
Pengalaman spiritual dibingkai dalam bahasa sastra yang tinggi dan elok. Tidak dapat dipungkiri, nama an Niffrari berderet diantara sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang zaman. Bait-bait puisinya tidak pernah luput dari pemaknaan tentang Tuhan. Seperti puisinya tentang penyerahan kepada Allah berikut ini:
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan. Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran. Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan
Karya-karya an-Nifary
Terlepas dari itu semua, pemikiran tasawuf dengan sangat memukau. Tasawuf di kaji secara mendalam dengan argumentasi yang cerdas. Sufisme menjadi bahasa spiritual sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui simbol-simbol tampak sekali perjalanan dan konsepnya tentang tasawuf. Meski dengan hati- hati, ia mampu menerjemahkannya dalam sebuah pola berfikir yang jitu.
Ada sebuah karyanya yang penting dan dapat dinikmati sampai sekarang. Kitab berjudul al Mawafiq wal Mukhthabat ( Posisi-Posisi dan Percakapan-Percakapan). Diakui banyak pengamat, karyanya ini sarat dengan simbol. Hasilnya bahasa-bahasa kiasan itu sering menimbulkan kontroversi. Dimungkinkan kalau tidak hati-hati akan menimbulkan pemaknaan yang salah.
Selanjutnya karya ini menjadi dua bagian penting. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ada sebuah cerita menarik tentang karyanya ini. Menurut pendapat satu-satunya pemberi syarah karya an-Nifary, Afifuddin at-Tilmisani bahwa ia tidak menulis sendiri karyanya. An-Nifary hanya mendiktekan ide dan pengalaman spiritualnya pada sang anak. Atau ia hanya menulis dalam potongan-potongan kertas dan kemudian disusun kembali oleh putranya itu. Dimungkinkan kalau karyanya ditulis dan disusun sendiri akan lebih sempurna dan indah.
Uwais Al-Qarani
Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahmandari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi. “Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir
kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.
Sufi Agung Al-Hallaj
Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”
Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”
Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Abdullah Al-Haddad
Penulis Ratib Haddad, Abdullah Al-Haddad Berguru Pada 100 Ulama
ABDULLAH AL-HADDAD, penulis Ratib Alhaddad ini sudah akrab di telinga masyarakat Islam Indonesia, Malaysia, India, Pakistan dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Karena Ratib-urutan (wirid, zikir)-nya yang ditulis sekitar empat abad yang lalu, sudah diamalkan oleh masyarakat Islam, baik pengikut paham Sunni maupun Syiah. Maklum, selain cerdas, dalam ilmu keislamannya, ia ternyata juga memiliki garis keturunan sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.
Nama lengkapknya adalah Al-Imam al-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad dilahirkan di pinggiran kota Tarim, sebuah kota bagian dari Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044H/1636 M.. Ia belajar pendidikan agama ke orang tuanya kemudian ke beberapa guru dengan pelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman lainnya. Setelah ia hafal Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman tersebut ia kemudian melanjutkan pelajaran kepada ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi dengan amat rajin, cerdas, dan berbakat.
Alhaddad mengembara dari Hadramaut ke kota lainnya di Yaman dengan berpindah-pindah tempat sampai ke Mekkah dan Madinah. Selain rajin belajar, ia juga senang beribadah, setiap hari berkeliling kota Tarim untuk bersembahyang dalam setiap masjid yang ditemuinya. Dalam menuntut ilmu keislaman tersebut ia telah berguru ke lebih seratus ulama. Di antaranya Sayid bin Abdurrahman bin Muhammad bin Akil al-Saqqaf, tokoh sufi mazhab Malamatiyah, dan daripadanya Alhaddad mendapat ijazah/khirqah kesucian. Gurunya yang lain adalah Sayid Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihabuddin dan Sayid Umar bin Abdurrahman al-Attas, tokoh yang terkenal dalam ilmu tarekat. Dari guru-gurunya itulah ia banyak berpengaruh hingga menekuni tasawwuf sampai ia menyusun Ratib Haddadiyah (wirid-wirid perisai diri, keluarga dan harta) yang terkenal itu.
Dan dari guru-gurunya tersebut dengan kajiannnya yang mendalam di berbagai ilmu keislaman sampai Al-Haddad benar-benar menjadi orang yang alim; menguasai seluk-beluk syariat dan hakikat, memliki spiritualitas yang tinggi dalam tasawuf hingga memperoleh tingkat qutub/ghaust, yaitu seorang dai yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan sangat mengesankan dan sebagai seorang penulis yang produktif yang karya-karyanya tetap dipelajari orang sampai sekarang ini.
Karya Tulis Alhaddad :
Sayid Abdullah al-Haddad wafat dalam usia 88 tahun pada hari Selasa, 7 Dzulqa’dah 1132 H/1724 M di Tarim. Ia meninggalkan karya tulis antara lain: Al-Nasaih al-Diniyah, Sabil al-Iddikar Wa al-‘I’tibar Bima Yamurru Bi al-Insan Wa-yangkadhi lahu min al-A’mar, Al-Da’wat al-Ittihaf al-Sail, Al-Fushul al-Ilmiyah Wa Ushul al-Hikmiyah, Risalat al-Muzakarah, Risalat al-Mu’awanah Wa al-Muzaharah Wa al-Muwazarah Li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk al-Thariq al-Akhirah, Risalat al-Murid, dan Kitab al-Majmu’.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan